
Jakarta – Donald Trump, Presiden petahana Amerika Serikat disebut menjadi presiden yang membayar pajak paling sedikit. Hal itu berdasarkan laporan New York Times.
Dari laporan itu, yang dikutip detikcom dari Washington Post, Selasa (3/10/2020), Trump disebutkan hanya membayar pajak sebesar US$ 750 atau sekitar Rp 10,9 juta (kurs Rp 14.600) untuk pajak penghasilan federal tahun pertamanya menjabat.
Bahkan jumlah pembayaran pajak tahun pertama Trump menjabat menjadi yang terendah di antara beberapa presiden pendahulunya. Yang juga mengagetkan, jumlah itu juga lebih rendah daripada pungutan pajak masyarakat menengah di Amerika Serikat.
Sebaliknya, pendahulu Trump, Barack Obama, membayar pajak hingga US$ 1,79 juta dalam bentuk pajak penghasilan federal pada tahun pertamanya menjabat. Bila dirupiahkan jumlahnya mencapai Rp 26,1 miliar. Pajak itu dibayarkan Obama paling banyak untuk royalti dari penjualan buku-bukunya.
Sementara itu kontribusi pajak pada tahun pertama George W. Bush menjabat sebesar US$ 250.221 atau sekitar Rp 3,6 miliar. Sebagian besar pajak itu dibayarkan pada gaji presiden dan pendapatan investasi dari aset-aset milik Bush.
Kemudian, apabila dilihat dari daftar yang dibuat New York Times, kontribusi pajak dari Trump tetap paling rendah.
Di daftar tersebut disebut eks Presiden Ronald Reagan membayar pajak US$ 165.202, sementara Bill Clinton membayar pajak US$ 62,670 di tahun pertama menjabat.
Sebelum jadi presiden, Trump memang menonjol karena kekayaannya yang dilaporkan sangat banyak. Kekayaan itu sebagian besar terkait dengan bisnis real estat komersial dan kepemilikan resort-nya. Bisnis itu dilakukan dengan ratusan entitas bisnis yang berbeda.
Hal itu memungkinkan Trump untuk memangkas beban pajak federal dengan mengeksploitasi celah dalam kode pajak dan menyatakan kerugian besar pada beberapa entitas tersebut.
“Hampir tidak ada (pendahulu Trump) adalah kapitalis besar. Sebagian besar pendapatan mereka berasal dari gaji dan, dalam beberapa kasus, penerbitan buku. Mereka pun cenderung dikenakan pajak yang cukup baik,” kata Eugene Steuerle, seorang peneliti di Urban Institute.
Joseph Thorndike, sejarawan pajak presidensial mengatakan seorang presiden tidak seperti orang lain. Untuk itu, kata dia, harus ada undang-undang yang mengamanatkan keterbukaan SPT Presiden di Amerika Serikat.
“Mereka adalah kepala pembayar pajak dan kepala pemungut pajak. Mereka adalah penegak pajak mereka sendiri. Tidak ada cara untuk memastikan bahwa mereka memenuhi kewajibannya, karena pada akhirnya laporan SPT lah yang akan menjawabnya.
(ZQ)